Minggu, 01 April 2012

IBUKU, TELADANKU




         Ribun kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang, demi aku anakmu. Seperti udara, kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalasmu , Ibu..... Itu adalah sepenggal bait lagu yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals dengan judul ”Ibu”. Kiranya tidaklah cukup tinta kita untuk menuliskan betapa besar kasih dan perjuangan seorang ibu untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Tak terkecuali kasih dan perjuangan yang dilakukan oleh ibu saya.
            Ketika usia saya dan adik saya sudah memasuki akil baligh, ibu mulai mengajari saya sholat lail. Di saat waktu mulai beranjak memasuki sepertiga malam terakhir, ibu selalu membangunkan kami agar mengerjakan sholat lail sebagaimana juga ibu yang tidak pernah absen dalam menjalankannya. Waktu usia saya memasuki akil baligh, saya baru duduk di bangku kelas I SMP. Saya teringat betul betapa jengkelnya saya setiap kali dibangunkan ibu. Dalam hati saya selalu berkata : ” lagi enak-enak tidur dibangunkan”. Namun ibu saya tidak pernah menyerah. Setiap hari beliau tetap membangunkan anak-anaknya sambil mengatakan : ” habis sholat malam boleh tidur lagi sampai shubuh”. Akhirnya kami pun lantas bangun mengambil air wudhu meski dengan berat hati dan sambil menahan kantuk.
Kini saya sudah berkeluarga dan menjadi ibu bagi tiga anak saya yang masih mungil-mungil. Saya menyadari bahwa sungguh berarti apa yang telah ibu saya lakukan. Beliau telah mentarbiyah sekaligus memberikan keteladanan kepada kami anak-anaknya.  Betapa indahnya kalau kita mengenalkan sholat lail sejak dini kepada anak-anak kita. Bukankah sholat lail adalah salah satu sholat yang tak pernah ditinggalkan oleh Rosulullah saw ?
 Sholat lail merupakan salah satu bentuk tarbiyah bagi anggota keluarga. Alllah telah berfirman  dalam Al Quran surat At Tahrim : 6 bahwa hendaklah kita menjaga diri dan anggota keluarga kita dari adzab neraka. Ini bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi di zaman globalisasi informasi seperti sekarang ini, pekerjaan itu terasa berat. Tayangan-tayangan di televisi bisa lebih mendominasi perhatian anggota keluarga bila tidak kita bentengi dengan upaya-upaya tarbiyah dan keteladan yang baik.
Sebagai ibu, kita memiliki kewajiban memberikan keteladanan dan mentarbiyah anak-anak kita dengan pembinaan yang islami. Seorang ibu harus memberikan bekal pendidikan sekaligus keteladanan yang akan menumbuhkan berbagai potensi positif bagi anak-anaknya. Karena ibu merupakan ”madrasatul uula”. Kepada para ibu lah banyak beban digantungkan, sehingga digambarkan bahwa surga berada di bawah telapak kakinya.
Kesadaran sebagai teladan di dalam keluarga bisa terdegradasi oleh pengaruh lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang dialami secara rutin setiap hari. Perasaan dan tanggung jawab keteladanan ini tidaklah tumbuh dengan sendirinya. Namun upaya menumbuhkannya memerlukan proses pembiasaan dan tarbiyah yang berkesinambungan.
Salah satu peran utama dari seorang ibu adalah mendidik anak-anak agar menjadi generasi rabbani, generasi yang akan menjadi aset bagi orang tuanya baik di dunia kini maupun di akhirat nanti. Keberhasilan pendidikan anak tidak terlepas dari keteladanan yang diberikan oleh seorang ibu. Keteladanan seorang ibu amat diperlukan di zaman sekarang ini dimana krisis idola telah terjadi di sebagian remaja kita.   Seorang ibu yang sadar bahwa semua perbuatannya akan ditiru oleh anak-anaknya maka dia akan senantiasa menjaga sikap sehingga di mata anak-anaknya dia adalah sosok idola, sosok yang patut diteladani. Sehingga ada harapan bahwa anak-anaknya akan menganggap bahwa ”ibuku teladanku” .






NYAMAN BERADA DI KELAS MATEMATIKA





“Belajar matematika? Ih…sungguh tidak menyenangkan”. “Mendengar kata matematika saja aku sudah alergi, apalagi mempelajarinya”. “Aku kurang suka belajar matematika, isinya cuma rumus-rumus bikin pusing”. Kalimat-kalimat tersebut mungkin pernah kita dengar keluar dari mulut para siswa. Itu adalah gambaran kecil bahwa mata pelajaran matematika termasuk salah satu mata pelajaran yang tidak banyak penggemarnya. Hal ini sungguh realistis. Mengapa? Pertama, tampilan matematika yang abstrak memberikan kesan bahwa matematika kurang menarik dan membosankan untuk dipelajari. Sehingga sebagian anak enggan untuk menekuninya. Karena dalam dunia anak sesuatu yang abstrak lebih sulit difahami, dibandingkan dengan sesuatu yang kongkrit. Kedua, penyampaian yang kurang menyenangkan dalam pembelajaran di kelas matematika membuat anak enggan belajar matematika.
            Benarkah matematika hanya terkait dengan sesuatu yang abstrak? Benarkah belajar matematika membosankan? Benarkah bahwa pembelajaran di kelas matematika cenderung membosankan? Ada sebuah kalimat yang cukup menggelitik : “Ingin anak anda sukses? Perhatikan siapa gurunya”. Kalimat ini saya ambil dari kolom parentingnya Suara Hidayatullah yang diasuh oleh Mohammad Fauzil Adhim (Hidayatullah edisi II/ XXIII/ Maret 2011). Dalam kaca mata saya sebagai guru kalimat tersebut cukup menggelitik karena hal itu secara tidak langsung berkaitan dengan kemampuan seorang guru dalam mengelola kelas dan menjalin hubungan dengan siswa-siswanya.
Di kolom tersebut juga dituliskan tentang hasil dari berbagai riset yang   menunjukkan bahwa anak-anak yang kemampuan matematikanya rendah dengan skor 50% ke bawah, meningkat pesat kemampuannya setelah dua tahun jika ia belajar di sekolah yang efektif dengan guru yang efektif juga. Sedangkan anak-anak yang belajar di sekolah rata-rata dengan guru yang kemampuan mengelola kelasnya juga rata-rata, tidak mengalami perubahan apapun setelah dua tahun. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah yang tidak efektif dengan kemampuan guru mengelola kelasnya juga tidak efektif , semakin lama malah semakin bodoh dan tidak mampu mengembangkan potensinya.
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang pernah saya dengar bahwa guru itu ibarat dalang dan seorang dalang ora bakal kurang lakon. Jadi sebenarnya seorang guru harus trampil dalam mendesain kelasnya agar pembelajaran di kelas itu menarik buat anak dan anak merasa enjoy saat berada di kelas tersebut (apapun kondisi anak saat masuk sekolah). Nah, bagaimana kita bisa membuat anak enjoy saat berada di kelas matematika?
            Sebenarnya dalam proses pembelajaran ada hal yang kelihatannya sepele tetapi cukup penting dan harus ada yaitu perasaan positif. Anak yang tidak memiliki perasaan positif saat belajar maka sulit baginya untuk menerima apalagi memahami apa yang ia pelajari. Seorang guru yang efektif hendaknya bisa membangun perasaan positif dalam diri siswanya saat ia belajar. Mengapa perasaan positif perlu dibangun?  
Perasaan merupakan “modal maya” manusia yang berkekuatan paling besar. Dalam ilmu Fisika kita mengenal istilah hukum daya tarik-menarik (Law of Attraction). “Sesuatu akan menarik pada dirinya segala hal yang satu sifat dengannya”. Hukum tarik-menarik ini juga berlaku bagi pikiran dan perasaan seseorang (Erbe Sentanu; 2008: 50). Segala sesuatu yang kita alami sesungguhnya kita tarik masuk ke dalam kehidupan kita melalui pikiran dan perasaan kita. Diri kita ibarat sebuah magnet besar yang akan selalu menarik apa pun yang kita fokuskan lewat pikiran dan perasaan. Sehingga jika seseorang berfikir tentang kesulitan maka dia tidak akan bisa menarik kemudahan.
            Seorang anak yang di dalam pikirannya telah tertanam bahwa “matematika itu sulit”, “belajar matematika itu bikin pusing” dan kalimat-kalimat negative yang lain maka dia akan benar-benar mengalami kesulitan ketika belajar matematika. Mengapa? Kalimat-kalimat negative yang sering diucapkan ataupun tanpa diucapkan tetapi selalu berada di pikiran maka kalimat-kalimat tersebut akan masuk ke alam bawah sadar. Dan secara otomatis di alam bawah sadar mereka sudah terprogram bahwa matematika itu sulit. Law of Attraction akan berlaku bahwa kesulitan akan menarik kesulitan.  
            Oleh karena itu sebelum pembelajaran dimulai ataupun saat proses pembelajaran berlangsung usahakan agar setiap anak memiliki perasaan positif terhadap materi yang akan mereka pelajari. Sehingga materi apapun yang dipelajarinya akan mudah diserap karena mereka berada dalam kondisi yang menyenangkan dan fokus.(to be continued...)

MAKAN SAMBIL BERDIRI, KAYAK AYAM LHO!




Alhamdulillah kami telah dikaruniai tiga putra, semuanya perempuan. Azka, putri saya yang pertama adalah seorang anak yang cenderung pendiam dan lebih suka membaca daripada bercerita. Satu buku bisa dia lahap habis dalam sekejap. Faza, putri ketiga saya suka ikut-ikutan corat-coret di kertas ketika kakaknya sedang mewarnai ataupun menulis. Najwa, putri kedua saya adalah anak yang cukup banyak berceloteh. Apapun  yang dia alami dan dia lakukan di sekolah selalu dia ceritakan sesampainya di rumah.
Setiap pulang sekolah selalu ada hal baru dari dia. Mulai dari cerita tentang teman-temannya di sekolah sampai pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Bu Guru.
“Ibu…tadi di sekolah, Awa (panggilan sayang kami untuk Najwa)  lihat CD Nabi …Nabi siapa itu yang masuk ke perut ikan paus…Nabi Yus…”(cerita Awa sepulang sekolah)
“Nabi Yunus”(kata saya menimpalinya)
“Ya, Nabi Yunus. Nabi Yunus masuk ke perut ikan paus lho…” (Dia lanjut ceritanya sampai selesai)
Sering juga dia main pentas-pentasan dengan bonekanya. Sambil membawa mikrofon-mikrofonan (kadang pensil, sedotan, dsb.) dia mengucapkan doa-doa, nasyid, yel-yel yang diajarkan oleh Bu Guru.
“Allahumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaabannar… Ya Allah berkatilah rizki yang telah Engkau berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka”. (Sebelum menyuapin bonekanya dia lafadzkan do’a tersebut. Hi…hi…hi…lucu ya bonekanya diajari berdo’a).
“Kelompok Sumatera oi...oi… kelompok Sumatera … anaknya sholih-sholih… ceria dan gembira…” (yel-yel kelompok A1 Sumatera sering dia nyanyikan. Subhanallah lucunya kamu nak).
            Tidak hanya itu, adab-adab keseharian yang diajarkan oleh Bu Guru di sekolah juga dia beritahukan kepada kami, ayah dan ibunya,  sesampainya di rumah.
“Ibu… kata Bu Guru, kalau kita makan dan minum harus sambil duduk, nggak boleh sambil berdiri ataupun tiduran. Karena kalau makan sambil berdiri itu kayak ayam. Coba Ibu lihat, ayam kan kalau makan sambil berdiri. Terus kalau makan sambil tiduran itu kayak ular”. (Dia putar ulang hasil rekamannya di sekolah). 
Pernah suatu siang tanpa sadar saya makan snack sambil berdiri. Spontan Awa langsung bilang :
 “Ibu… kalau makan sambil duduk, tidak boleh sambil berdiri. Nanti kayak ayam lho kalau makannya sambil berdiri”. (Idiih, malu banget ya diingetin sama anak).  
“Astaghfirullah, maaf  nak Ibu lupa… terimakasih ya… Awa sudah mengingatkan Ibu”.
            Di lain hari Awa makan roti sambil jalan-jalan.  Ketika saya bilang :”Awa…katanya kalau makan tidak boleh sambil berdiri, nanti kayak ayam lho”. Sambil tersipu malu, Awa langsung duduk.
            Subhanallah, kelucuan anak-anak membuat kita terhibur sekaligus tersadar bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang masih suci. Baik buruknya goresan yang kita berikan pada anak-anak kita, akan turut menentukan seperti apa mereka kelak ketika dewasa. Apa yang dia dengar dan lihat itulah yang akan dia ucapkan dan lakukan.
Seharian  di sekolah, anak-anak kita tentu tidak hanya bermain tetapi mereka juga  belajar tentang nilai-nilai. Seperti penanaman nilai-nilai tentang adab makan yang diberikan oleh Bu Guru, kelihatannya sepele tapi hal itu sungguh membekas dalam diri anak. Mereka tentu tidak mau disamakan dengan ayam. Akhirnya mereka tidak akan berbuat seperti yang diperbuat oleh ayam.
Alangkah indahnya kalau di rumah anak-anak juga mendapatkan hal yang sama. Semua berawal dari keluarga. Keluarga yang sholih akan melahirkan masyarakat yang sholih. Semoga kita selalu diberi kekuatan oleh Allah dalam mengemban amanah-Nya mendidik anak-anak kita. Amin.